Dicki Nuuran Widi Wiguna
132104102199
FISIPOL ADMINISTRASI NEGARA
Universitas Proklamasi'45 Yogyakarta
Bagaimana Pandangan Sosial dan
Politik terhadap Migas ?
A. Politik Migas Bung Karno
Bung Karno dan Politik Minyak Kita "Jangan Dengarkan Asing..!!" Itulah yang diucapkan Bung Karno di tahun 1957 saat ia mulai melakukan aksi atas politik kedaulatan modal. Aksi kedaulatan modal adalah sebuah bentuk politik baru yang ditawarkan Soekarno sebagai alternatif ekonomi dunia yang saling menghormati, sebuah dunia yang saling menyadari keberadaan masing-masing, sebuah dunia co-operasi, "Elu ada, gue ada" kata Bung Karno saat berpidato dengan dialek betawi di depan para mahasiswa sepulangnya dari Amerika Serikat.
Pada
tahun 1957, perlombaan pengaruh kekuasaan meningkat antara Sovjet Uni dan
Amerika Serikat, Sovjet Uni sudah berani masuk ke Asia pasca meninggalnya
Stalin, sementara Mao sudah ambil ancang-ancang untuk menguasai seluruh wilayah
perbatasan Sovjet Uni dengan RRC di utara Peking. Bung Karno sudah menebak
Amerika Serikat dan Sovjet Uni pasti akan rebutan Asia Tenggara. "Dulu
Jepang ngebom Pearl Harbour itu tujuannya untuk menguasai Tarakan, untuk
menguasai sumber-sumber minyak, jadi sejak lama Indonesia akan jadi pertaruhan
untuk penguasaan di wilayah Asia Pasifik, kemerdekaan Indonesia bukan saja soal
kemerdekaan politik, tapi soal bagaimana menjadiken manusia yang didalamnya
hidup terhormat dan terjamin kesejahteraannya" kata Bung Karno saat
menerima beberapa pembantunya sesaat setelah pengunduran Hatta menjadi Wakil
Presiden RI tahun 1956.
Saat itu
Indonesia merobek-robek perjanjian KMB didorong oleh kelompok Murba, Bung Karno
berani menuntut pada dunia Internasional untuk mendesak Belanda menyerahkan
Irian Barat kepada Indonesia "Kalau Belanda mau perang, kita jawab dengan
perang" teriak Bung Karno saat memerintahkan Subandrio untuk melobi
beberapa negara barat seperti Inggris dan Amerika Serikat. "Gerak adalah sumber
kehidupan, dan gerak yang dibutuhkan di dunia ini bergantung pada energi, siapa
yang menguasai energi dialah pemenang" Ambisi terbesar Soekarno adalah
menjadikan energi sebagai puncak kedaulatan bangsa Indonesia, pada peresmian
pembelian kapal tanker oleh Ibnu Sutowo sekitar tahun 1960, Bung Karno berkata
"Dunia akan bertekuk lutut kepada siapa yang punya minyak, heee....joullie
(kalian =bahasa belanda) tau siapa yang punya minyak paling banyak, siapa yang
punya penduduk paling banyak...inilah bangsa Indonesia, Indonesia punya minyak,
punya pasar. Jadi minyak itu dikuasai penuh oleh orang Indonesia untuk orang
Indonesia, lalu dari minyak kita ciptaken pasar-pasar dimana orang Indonesia
menciptaken kemakmurannya sendiri".
Jelas langkah Soekarrno
tak disukai Amerika Serikat, tapi Moskow cenderung setuju pada Soekarno,
ketimbang harus perang di Asia Tenggara dengan Amerika Serikat, Moskow memutuskan
bersekutu dengan Soekarno, tapi perpecahan Moskow dengan Peking bikin bingung
Soekarno. Akhirnya Soekarno memutuskan maju terus tanpa Moskow, tanpa Peking
untuk berhadapan dengan kolonialis barat. Di
tahun 1960, Sukarno bikin gempar perusahaan minyak asing, dia panggil Djuanda,
dan suruh bikin susunan soal konsesi minyak "Kamu tau, sejak 1932 aku
berpidato di depan Landraad soal modal asing ini? soal bagaimana
perkebunan-perkebunan itu dikuasai mereka, jadi Indonesia ini tidak hanya berhadapan
dengan kolonialisme tapi berhadapan dengan modal asing yang memperbudak bangsa
Indonesia, saya ingin modal asing ini dihentiken, dihancurleburken dengan
kekuatan rakyat, kekuatan bangsa sendiri, bangsaku harus bisa maju, harus
berdaulat di segala bidang, apalagi minyak kita punya, coba kau susun sebuah
regulasi agar bangsa ini merdeka dalam pengelolaan minyak" urai Sukarno di
depan Djuanda.
Lalu tak
lama kemudian Djuanda menyusun surat yang kemudian ditandangani Soekarno. Surat
itu kemudian dikenal UU No. 44/tahun 1960. isi dari UU itu amat luar biasa dan
memukul MNC (Multi National Corporation). "Seluruh Minyak dan Gas Alam
dilakukan negara atau perusahaan negara". Inilah yang kemudian menjadi
titik pangkal kebencian kaum pemodal asing pada Soekarno, Soekarno jadi sasaran
pembunuhan dan orang yang paling diincar bunuh nomor satu di Asia. Tapi Soekarno
tak gentar, di sebuah pertemuan para Jenderal-Jenderalnya Soekarno berkata
"Buat apa memerdekakan bangsaku, bila bangsaku hanya tetap jadi budak bagi
asing, jangan dengarken asing, jangan mau dicekoki Keynes, Indonesia untuk
bangsa Indonesia". Ketika laporan intelijen melapori bahwa Sukarno tidak
disukai atas UU No. 44 tahun 1960 itu Soekarno malah memerintahkan ajudannya
untuk membawa paksa seluruh direktur perusahaan asing ke Istana. Mereka takut
pada ancaman Soekarno. Dan diam ketakutan. Pada hari Senin, 14
Januari 1963 pemimpin tiga perusahaan besar datang lagi ke Istana, mereka dari
perusahaan Stanvac, Caltex dan Shell. Mereka meminta Sukarno membatalkan UU
No.40 tahun 1960. UU lama sebelum tahun 1960 disebut sebagai "Let Alone
Agreement" yang memustahilkan Indonesia menasionalisasi perusahaan asing,
ditangan Soekarno perjanjian itu diubah agar ada celah bila asing macam-macam
dan tidak memberiken kemakmuran pada bangsa Indonesia atas investasinya di
Indonesia maka perusahaannya dinasionalisasikan. Para boss perusahaan minyak
itu meminta Sukarno untuk mengubah keputusannya, tapi inilah jawaban Sukarno
"Undang-Undang itu aku buat untuk membekukan UU lama dimana UU lama
merupaken sebuah fait accomply atas keputusan energi yang tidak bisa
menasionalisasikan perusahaan asing. UU 1960 itu kubuat agar mereka tau, bahwa
mereka bekerja di negeri ini harus membagi hasil yang adil kepada bangsaku,
bangsa Indonesia" mereka masih ngeyel juga, tapi bukan Bung Karno namanya
ketika didesak bule dia malah meradang, sambil memukul meja dan
mengetuk-ngetukkan tongkat komando-nya lalu mengarahkan telunjuk kepada
bule-bule itu Soekarno berkata dengan suara keras :"Aku kasih waktu pada
kalian beberapa hari untuk berpikir, kalau tidak mau aku berikan konsesi ini
pada pihak lain negara..!" waktu itu ambisi terbesar Soekarno adalah
menjadikan Permina (sekarang Pertamina) menjadi perusahaan terbesar minyak di
dunia, Sukarno butuh investasi yang besar untuk mengembangkan Permina. Caltex
disuruh menyerahkan 53% hasil minyaknya ke Permina untuk disuling, Caltex
diperintahkan memberikan fasilitas pemasaran dan distribusi kepada pemerintah,
dan menyerahkan modal dalam bentuk dollar untuk menyuplai kebutuhan investasi
jangka panjang pada Permina.
Bung Karno tidak berhenti begitu saja, ia juga menggempur Belanda di Irian Barat dan mempermainkan Amerika Serikat, Sukarno tau apabila Irian Barat lepas maka Biak akan dijadikan pangkalan militer terbesar di Asia Pasifik, dan ini mengancam kedaulatan bangsa Indonesia yang baru tumbuh. Kemenangan atas Irian Barat merupakan kemenangan atas kedaulatan modal terbesar Indonesia, di barat Indonesia punya lumbung minyak yang berada di Sumatera, Jawa dan Kalimantan sementara di Irian Barat ada gas dan emas. Indonesia bersiap menjadi negara paling kuat di Asia.
Bung Karno tidak berhenti begitu saja, ia juga menggempur Belanda di Irian Barat dan mempermainkan Amerika Serikat, Sukarno tau apabila Irian Barat lepas maka Biak akan dijadikan pangkalan militer terbesar di Asia Pasifik, dan ini mengancam kedaulatan bangsa Indonesia yang baru tumbuh. Kemenangan atas Irian Barat merupakan kemenangan atas kedaulatan modal terbesar Indonesia, di barat Indonesia punya lumbung minyak yang berada di Sumatera, Jawa dan Kalimantan sementara di Irian Barat ada gas dan emas. Indonesia bersiap menjadi negara paling kuat di Asia.
Hitung-hitungan
Soekarno di tahun 1975 akan terjadi booming minyak dunia, di tahun itulah
Indonesia akan menjadi negara yang paling maju di Asia , maka obesesi terbesar
Sukarno adalah membangun Permina sebagai perusahaan konglomerasi yang
mengatalisator perusahaan-perusahaan negara lainnya di dalam struktur modal
nasional. Modal Nasional inilah yang kemudian bisa dijadikan alat untuk
mengakuisisi ekonomi dunia, di kalangan penggede saat itu struktur modal itu
diberi kode namanya sebagai 'Dana Revolusi Soekarno". Kelak empat puluh
tahun kemudian banyak negara-negara kaya seperti Dubai, Arab Saudi, Cina dan
Singapura menggunakan struktur modal nasional dan membentuk apa yang dinamakan
Sovereign Wealth Fund (SWF) sebuah struktur modal nasional yang digunakan untuk
mengakuisisi banyak perusahaan di negara asing, salah satunya apa yang
dilakukan Temasek dengan menguasai saham Indosat.
Soekarno
sangat perhatian dengan seluruh tambang minyak di Indonesia, di satu sudut
Istana samping perpustakaannya ia memiliki maket khusus yang menggambarkan
posisi perusahaan minyak Indonesia, suatu hari saat Bung Karno kedatangan
Brigjen Sumitro, yang disuruh Letjen Yani untuk menggantikan Brigjen Hario
Ketjik menjadi Panglima Kalimantan Timur, Soekarno sedang berada di ruang
khusus itu, lalu ia keluar menemui Sumitro yang diantar Yani untuk sarapan
dengan Bung Karno, saat sarapan dengan roti cane dengan madu dan beberapa obat
untuk penyakit ginjal dan diabetesnya, Soekarno berkata singkat pada Sumitro :
"Generaal Sumitro saya titip rafinerij (rafineij = tambang dalam bahasa
Belanda) di Kalimantan, kamu jaga baik-baik" begitu perhatiannya Soekarno
pada politik minyak.
Kelabakan
dengan keberhasilan Soekarno menguasai Irian Barat, Inggris memprovokasi Soekarno
untuk main di Asia Tenggara dan memancing Soekarno agar ia dituduh sebagai
negara agresor dengan mengakuisisi Kalimantan. Mainan lama ini kemudian juga
dilakukan dengan memancing Saddam Hussein untuk mengakuisisi Kuwait sehingga
melegitimasi penyerbuan pasukan Internasional ke Baghdad. Soekarno panas dengan
tingkah laku Malaysia, negara kecil yang tak tau malu untuk dijadikan alat
kolonialisme, namun Soekarno juga terpancing karena bagaimanapun armada tempur
Indonesia yang diborong lewat agenda perang Irian Barat menganggur. Soekarno
ingin mengetest Malaysia.
Tapi
sial bagi Sukarno, ia justru digebuk Jenderalnya sendiri. Soekarno akhirnya
masuk perangkap Gestapu 1965, ia disiksa dan kemudian mati mengenaskan, Soekarno
adalah seorang pemimpi, yang ingin menjadikan bangsanya kaya raya itu dibunuh
oleh konspirasi. Dan sepeninggal Sukarno bangsa ini sepenuhnya diambil alih
oleh modal asing, tak ada lagi kedaulatannya dan tak ada lagi kehormatannya. Soekarno
menciptakan landasan politik kepemilikan modal minyak, inilah yang harus
diperjuangkan oleh generasi muda Indonesia, kalian harus berdaulat dalam modal,
bangsa yang berdaulat dalam modal adalah bangsa yang berdaulat dalam ekonomi
dan kebudayaannya, ia menciptakan masyarakat yang tumbuh dengan cara yang
sehat. Bung Karno tidak hanya mengeluh
dan berpidato didepan publik tentang ketakutannya seperti SBY, tapi ia
menantang, ia menumbuhkan keberanian pada setiap orang Indonesia, ia
menumbuhkan kesadaran bahwa manusia Indonesia berhak atas kedaulatan energinya.
Andai Indonesia berdaulat energinya, Pertamina menjadi perusahaan minyak
terbesar di dunia dan menjadi perusahaan modal yang mengakusisi banyak
perusahaan di dunia maka minyak Indonesia tak akan semahal sekarang, rakyat
yang dicekik terus menerus. Pada Bung
Karno, hendaknya jalannya sejarah Indonesia harus dikembalikan.
B. Indonesia sebetulnya masih punya cadangan Minyak,
meskipun jumlahnya tidak begitu besar. Artinya, jika pemerintah punya Politik
Energi yang tepat, pemerintah bisa menggenjot produksi.
Hal tersebut diungkapkan
oleh Staff Deputi Politik Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik
(KPP-PRD), Alif Kamal, di Jakarta, Sabtu (8/6/2013). Menurut Alif, problem
terbesar pengelolaan migas saat ini adalah ketergantungan yang besar kepada
modal asing. “Kita begitu bergantung kepada modal asing, baik ketergantungan
modal maupun teknologi. Ironisnya, pemerintah tidak bisa mengupayakan untuk
mengembangkan kekuatan sendiri agar bisa mengelola migas secara berdikari,”
kata Alif. Alif menyatakan tidak sependapat dengan pernyataan
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas
Bumi (SKK Migas), Rudi Rubiandini, yang menyatakan bahwa salah satu kendala
eksplorasi minyak di Indonesia adalah tidak adanya modal tunai yang cukup untuk
eksplorasi dan ketidakberanian modal nasional untuk melakukan eksplorasi migas.
“Dia (Rudi Rubiandini)
bilang, kalau eksplorasi, belum tentu dapat minyak alias dry hole. Sedangkan biaya
eksplorasi per sumur biasanya Rp 1 trilyunan. Hal itu, kata dia, yang membuat
pemerintah membatasi Pertamina untuk masuk dalam bisnis yang beresiko tinggi,”
kata Alif. Bagi Alif, pernyataan Rudi Rubiandini itu tidak beralasan. Buktinya,
kata dia, perusahaan asing justru berlomba-lomba untuk mengeksplorasi cadangan
migas Indonesia. Selain itu, kata Alif, guna mengecilkan resiko dry hole,
pemerintah seharusnya memperkuat riset.
Selain itu, Alif
menambahkan, terkait kebutuhan dana eksplorasi, pemerintah seharusnya bisa
menyisihkan sebagian dari penerimaan di sektor migas yang tiap tahun naik. “Ini
kan aneh, katanya penerimaan migas kita naik terus, tetapi kok mengeluh dana
eksplorasi. Tahun 2005, penerimaan migas sebesar Rp 138,9 triliun. Dan pada
tahun 2012, meningkat menjadi Rp 265,94 Triliun,” kata Alif. Lebih jauh lagi,
kata Alif, politik anggaran di APBN kita memang tidak memihak pada pengembangan
ekonomi nasional, termasuk untuk eksplorasi migas. Faktanya, kata dia, hampir
80% anggaran di APBN hanya dipakai untuk belanja rutin birokrasi.
Seharusnya, pemerintah bisa
menutupi kebocoran APBN yang mencapai 30%. Dengan begitu, ada dana tunai untuk
pembangunan infrastruktur dan pengembangan sekto migas,” kata Alif. Alif juga
mengeritik ketidakbecusan pemerintah, termasuk SBY, dalam mengembangkan
Pertamina agar sejajar dengan korporasi migas milik negara, seperti CNOOC
(China), Petronas (Malaysia), dan PDVSA (Venezuela).
“Dulu Petronas belajar ke
Pertamina, tapi sekarang mereka berkembang sangat pesat. Pertamina tertinggal
jauh di belakang. Itu karena manajemen pertamina yang korup dan banyak
brokerisasi di dalamnya. Selain itu, posisi Pertamina juga dilemahkan melalui
UU nomor 22 tahun 2001 tentang migas,” tegasnya.
Menurut Alif, masalah besar
dalam pengelolaan migas di Indonesia adalah dominannya modal asing. Ia mengutip
data dari ESDM tahun 2009, bahwa dari keseluruhan produksi minyak dan kondensat
di Indonesia, pertamina hanya 13,8%. Sisanya dikuasai oleh perusahaan asing,
seperti Chevron (41%), Total E&P Indonesie (10%), Chonoco-Philips (3,6%)
dan CNOOC (4,6%). Yang lebih disesalkan Alif adalah pernyataan Rudi Rubiandini
soal cost recovery yang seolah-olah tak bermasalah. “Cost Recovery yang dibayar
pemerintah sangat tinggi, yakni Rp 120 triliun. Harusnya dievaluasi kenapa bisa
sangat tinggi begitu. Nah, ada informasi bahwa banyak item yang seharusnya
tidak masuk biaya cost recovery tetapi justru dimasukkan,” ungkap Alif.
Bagi Alif, jika politik
energi Indonesia tidak diubah, yakni dengan mengupayakan menggunakan kemampuan
sendiri, Indonesia selamanya tidak akan berdaulat di sektor energi.
C.
dan
Pandangan Parpol tentang Kemandirian Energi Nasional
Kurangi Peran Asing, Dorong BUMN Kuasai Migas
Pemerintah harus sungguh-sungguh
dalam melakukan konversi gas, dengan memperbanyak SPBG, membangun jaringan
pipa, FSRU, dan sebagainya yang dapat mempermudah masyarakat untuk mengakses
gas,” Erik Satrya Wardhana Ketua
DPP Partai Hanura
Indonesia merupakan
negara produsen energi primer terbesar ke-8 di dunia, seperti minyak, gas, dan
batu bara. Sumber daya energi yang dapat diperbaharui juga berlimpah. Mestinya
dengan itu Indonesia bisa swasembada energi dan sekaligus membangun kedaulatan
di bidang energi, namun pada kenyataannya Indonesia justru menjadi importir
energi. DEMIKIAN disimpulkan oleh poli tisi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)
Erik Satrya Wardhana.
”Dengan menjadi negara
pengimpor energi, ini artinya ada yang salah dengan politik dan kebijakan
energi nasional selama ini,” kata Erik, kepada INDO POS. Menurut Ketua DPP
Partai Hanura ini, dalam konsep ekonomi yang di usung oleh Partai Hanura,
dengan sum ber daya energi yang begitu besar, seharusnya kedaulatan di bidang
energi bagi Indonesia akan menjadi keniscayaan, jika dilakukan lima langkah.
”Pertama, melakukan perombakan terhadap berbagai regulasi yang tidak mendukung
pencapaian kedaulatan energi.
Beberapa negara di
Amerika Latin sudah melakukan langkah itu dengan menasionalisasi
perusahaanperusahaan migas besar yang beroperasi di negaranya. Itupula yang
harus dilakukan di negeri ini,” tegas pria berkacamata ini. Seperti diketahui,
perusahaan besar asing yang datang dan melakukan usaha di Indonesia dengan
menggu nakan sumber daya alam yang ada, khususnya di bagian migas cukup banyak.
Antara lain, Chevron (Amerika Se rikat) menguasai 35 persen total pro duksi di
Indonesia, Total (Perancis) memproduksi rata-rata 2.200 juta kaki kubik per
hari, menjadi pemasok 80 persen gas di kilang gas alam cair di Bontang,
Kalimantan Timur.
Dan turut melakukan
ekspor ke Jepang dan Korea. ConocoPhilips (Amerika), beroperasi di Indonesia
lebih dari 40 tahun ini merupakan produsen mi gas terbesar ketiga di Indonesia.
British Petroleum (Inggris), me libat kan enam lapangan gas yang telah te
reksploitasi dengan cadangan gas sebesar 14.4 triliun kaki kubik. Mereka
menguasai 37,16 persen saham di proyek Tangguh yang merupakan la pangan gas
sekaligus kilang LNG.
Dalam setahun kilang
LNG mengha silkan 7.6 juta ton LNG dan hasil kilang Tangguh tersebut dikirim ke
Amerika Serikat dan China. Dan Ex xonMobil (Amerika), menemukan sum ber minyak
mentah sebesar 1.4 mi liar barel dan gas mencapai 8.14 miliar kaki kubik di
lapangan Banyu Urip, Cepu, Jawa Tengah. Exxon menandatangani Kontrak Ker ja
Sama (KKS) migas dengan peme rintah Indonesia pada 2005 dan se jak itu Exxon
bisa memproduksi minyak walaupun hanya sekitar 20.000 barel per hari. Kedua,
katanya, menjadikan BUMN se bagai pengendali dan pelaku utama pengelolaan
energi domestik di sektor hulu hingga hilir.
Dengan potensi ener gi
yang secara ekonomis berlim pah, BUMN dapat mengadakan SDM yang berkelas
internasional dan menerapkan teknologi mutakhir, untuk mengelola energi secara
ekono mis dan berkelanjutan. ”Dengan demikian BUMN tersebut bahkan sangat
mungkin mengakuisisi perusahaan-perussahaan energi kelas dunia yang bersifat
terbuka,” ujarnya. Ketiga, lanjut dia, mengembangkan pro duksi energi yang
terbarukan ser ta mengoptimalkan produksi ene r gi yang tidak dapat di
perbarui. Ter masuk di da lamnya adalah menin gka tkan poduksi dan me lakukan
efisiensi dalam pengolahan dan distribusi.
Sehingga bisa dicapai
titik op t imal bauran energi yang mu rah dan yang ramah lingkungan. Langkah
keempat, me nurut Erik, da lam jangka pendek dan menengah, untuk mengurangi
ketergantungan terhadap impor BBM yang pada gi li rannya juga akan dapat
menghemat de visa dan me ngurangi te kanan sub sidi BBM ter hadap APBN. Maka,
peme rintah ha rus mengeluar kan kebi jakan yang menghentikan ekspor minyak
mentah domestik sampai kapasitas pengolahan do mes tik dapat tercukupi.
”Pada saat yang
bersamaan kapasitas kilang juga harus diperbesar, dan storage minyak yang
berada di wilayah In do nesia dimanfaatkan sepenuhnya,” terangnya. Lebih lanjut
yang terakhir adalah mengoptimalkan pemanfaatan komoditas energi untuk publik,
yakni gas bumi. ”Pemerintah harus sungguh- sungguh dalam melakukan kon versi
gas, dengan memperbanyak SPBG, membangun jaringan pipa, FSRU, dan sebagainya
yang dapat mempermudah masyarakat untuk mengakses gas,” tegasnya.
Konversi Gas Kendaraan
Terkait dengan kelangkaan bahan bakar minyak hingga ditekannya kuota subsidi,
menun tut adanya per cepatan konversi ke bahan bakar gas. Menurut Erik Sat rya
Wardha na, lang kah yang paling efek tif adalah me nga pli kasi kannya ke
kendaraan pribadi dan umum. ”Yang paling mendekati adalah transpor tasi umum.
Ini di la kukan agar kuota BBM ber sub idi sebesar 48 juta kilo liter tidak
terlampaui,” katanya.
Erik yang juga menjabat
sebagai anggota komisi VI DPR RI ini, mene rangkan salah satu kesuksesan
pemerintah bisa menekan kuota BBM bersubsidi di tahun lalu lantaran adanya
kebijakan menaikan harga pada BBM jenis premium dan solar. Na mun, di satu sisi
subsidi energi ma sih dikatakan masih cukup besar lantaran efek dari ekonomi
nasional. Sehingga program konversi ini harus lebih ditekan agar penggu naannya
menjadi massif.
”Untuk itu
pengaplikasian konsumsi BBG ke transportasi umum harus dilakukan agar beban
subsidi tidak ber pe ngaruh terhadap kurs,” ucapnya. Lebih lanjut ia juga me
nerangkan pentingnya industri otomotif dan ka roseri di dalam negeri ter libat
dalam usaha per cepatan konversi BBM ke BBG. “Salah satunya dengan menyiapkan
conver ter kit pada produksi ken daraannya sehingga siner gi dalam mempercepat
pro gram ini dapat berhasil ke depannya,” imbau pria yang kini kembali maju
sebagai caleg di dapil Jabar III.
Dominasi manusia
terhadap peradaban kita belum sampai kepada batas dari kapasitas pendukung
kehidupan Bumi. Meskipun demikian, kerugian dan penurunan modal alam, dimana
manusia manfaat dalam bentuk layanan alam, adalah terjadi dimana-mana dan
sebagian besar diabaikan oleh manusia. Banyak masyarakat menghabiskan modal dan
sumber daya mereka, tanpa berpikir untuk, misalnya, bertani dengan maksud untuk
mendapatkan panen tahunan yang terus menerus, melaut untuk mendapatkan ikan
yang dapat di eksploitasi secara berkelanjutan, dan melakukan penebangan pohon
yang tidak lebih cepat dari regenerasi pohon itu sendiri. Sistem ekonomi
konvensional hanya memberikan nilai yang kecil terhadap modal alam, dan juga
dalam sistem ini, kerugian atau penurunan dari produktivitas tidak secara lazim
tercatat dalam pembukuan. Kemungkinan untuk mengganti akibat dari penurunan
modal alam yang hilang tersebut sangatlah kecil. Akibat dari penurunan modal
alam tersebut, banyak negara tanpa sadar memiskinkan diri mereka sendiri
meskipun semua tindakan-tindakan ekonomi konvensional mengindikasikan atau
menunjukkan kekayaan negara meningkat. Jadi kemenangan manusia dari dominasi
atas Bumi adalah kemenangan parsial yang bercampur dengan berkat.
Terdapat banyak biaya
yang terkait dengan peningkatan dominasi umat manusia. Hal tersebut termasuk
perbedaan dalam kesejahteraan dan pengaruh antara negara dan kawasan,
ketidakberkelanjutan ekologi dari peradaban saat ini dan serangan yang terus
meningkat terhadap sistem pendukung kehidupan, dan umat manusia tumbuh dengan
rentan terhadap bahaya epidemi baru. Semua ini mewakili tantangan yang harus
dipenuhi. Konsensus ilmiah menyatakan bahwa tingkah laku manusia sangat
berpengaruh dalam mengurangi harapan dari peradaban untuk menjadi
berkelanjutan.
“Korporat umat manusia” masih
memiliki peluang untuk mengambil serangkaian langkah penting untuk mengubah
arah dan menghindari tabrakan dengan dunia alam. Sangat penting bagi umat
manusia untuk mulai membangun momentum ke arah pembentukan dunia yang
berkelanjutan dimana semuanya dapat menjalani kehidupan yang layak,
menyenangkan, mampu mengkonsumsi pada tingkat yang memuaskan tetapi tetap aman,
bebas dari kemungkinan menjadi sumber dari peperangan, terorisme, dan konsekuensi
dari meningkatnya kerusakan lingkungan. Tidak ada isu yang lebih mendasar dari
pembentukan dunia yang lebih aman dan berkelanjutan dibandingkan dengan
pengendalian populasi manusia. Salah satu alasan untuk terus mengabaikan jasa
atau layanan yang diberikan oleh alam yaitu karena keuntungan mereka berikan
kepada masyarakat tidak diperhitungkan di pasar. Sebagai contoh, harga lahan
basah yang dijual untuk dikonversi menjadi lahan pertanian masih lebih rendah
apabila dibandingkan dengan total biaya sosial akibat kehilangan lahan basah,
dimana biaya hilangnya jasa ekosistem dari lahan basah, seperti misalnya
hilangnya fungsi kontrol banjir, fungsi penyaring air, dan habitat, tidak
dimasukkan dalam harga penjualan lahan basah.
Kemudian, selain biaya lingkungan,
menurut Paul R. Ehrlich dan Anne H. Ehrlich, terkait dengan biaya sosial,
yaitu:
Social costs include
the external costs borne by society, beyond the internal costs paid by people
or firms that are producing a product or carrying out an activity. Most of the
benefits we get from the organisms of natural ecosystems are “positive
externalities” to society; correspondingly, the costs society incurs when those
benefits are reduced are “negative externalities.”
Contoh lain dari dari
ekonomi ekologi yaitu eksternalitas positif yang disediakan oleh hutan alam
meliputi penyerapan karbon, yang apabila tidak dilakukan akan tetap
berada di atmosfer sebagai karbon dioksida (CO2), sebuah proses yang dapat
mengurangi resiko perubahan iklim. Lebih lanjut mengenai manfaat langsung
termasuk moderasi iklim lokal (perlindungan dari banjir dan kekeringan) dan
fungsi pemeliharaan kualitas tanah dan air. Fungsi tersebut jarang diberi
nilai dalam pasar saat ini. Misalnya, jika A menjual hak untuk memanen
pohon-pohon kepada B. Harga pasar dari hak tersebut tidak mencerminkan
kenyataan bahwa cucu A, B, dan penduduk dunia mungkin harus tinggal di iklim
yang terus memburuk. Pemerintah tidak menarik pajak dari transaksi
tersebut (meskipun bisa) untuk mencoba memperbaiki kegagalan harga pasar atas
pohon yang telah ditebang tersebut yang nantinya akan mencerminkan nilai sosial
yang sebenarnya. Dengan kata lain, berdasarkan perhitungan mengatakan
bahwa biaya pasar dari penebangan hutan biasanya tidak meliputi eksternalitas
negatif yang terkait dengan hilangnya hutan, seperti peningkatan intensitas
banjir, penurunan keanekaragaman hayati, dan terlepasnya CO2 ke udara. B
membayar lebih sedikit atas nilai sosial pohon yang sebenarnya dengan
pertimbangan karena pasar tidak memperhitungkan biaya tersebut dan karena
pemerintah tidak menerapkan pajak untuk "menginternalisasikan"
eksternalitas tersebut. Jadi, bukannya B yang membayar biaya sebenarnya
dari penebangan pohon, tetapi kita semua akhirnya membayar biaya sosial tersebut.
Eksternalitas akan muncul apabila
tindakan seseorang atau perusahaan mempengaruhi entitas lain tanpa permisi.
Eksternalitas itu sendiri terbagi ke dalam dua bagian, yaitu eksternalitas
positif dan eksternalitas negatif. Contoh eksternalitas positif yaitu pemilik
kebun apel memberikan eksternalitas positif bagi peternak lebah disekitar
kebunnya (terkait dengan kuantitas dan kualitas madu), dan sebaliknya peternak
lebah memberikan eksternalitas positif bagi pemilik kebun apel karena lebahnya
membantu penyerbukan bunga-bunga apel. Sedangkan contoh untuk eksternalitas
negatif yaitu dimana usaha laundry yang berada di dekat pabrik baja menyebabkan
biaya untuk melakukan pencucian pakaian menjadi lebih besar karena terkena
kotoran dan asap yang dihasilkan dari kegiatan pembuatan baja. Jadi dapat
disimpulkan bahwa definisi dari eksternalitas yaitu “An externality exists when
the consumption or production choices of one person or firm enters the utility
or production function of another entity without that entity’s permission or
compensation.”
Selanjutnya mengenai eksternalitas
lingkungan, menurut Bernard Hoekman dan Michael Leidy:
Environmental
externalities are often embodied in specific products or generated by
production process. And government generally have a variety of instruments at
their disposal to mitigate the environmental impact of product – and
process-based pollution. These include taxes on production or consumption,
tradeable pollution permits, limiting production through quotas on output,
restrictions on the use spesific inputs or production technologies, and product
standards.
Meskipun faktanya bahwa
terdapat teori ekonomi yang mengindikasikan bahwa pasar atau instrumen yang
didasarkan pada harga seperti misalnya pajak atau izin yang dapat
diperdagangkan sering menjadi pilihan yang efisien, dalam praktek kebijakan
lingkungan cenderung untuk menjadi perintah dan kontrol, yang berbentuk jumlah
kuantitas peraturan dan teknis produk yang spesifik/standar dari proses. Pada
saatnya, instrumen yang didasarkan pada harga akan secara keseluruhan menjadi
tidak tepat. Misalnya yaitu adanya kebutuhan untuk melarang atau membatasi
penggunaan zat tertentu yang terkandung dalam suatu produk (karena menyebabkan
kanker dan lain-lain).
Berbicara mengenai lingkungan tidak
dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip yang ada terkait dengan lingkungan itu sendiri.
Ada 5 (lima) prinsip yang dapat digunakan untuk mendesain instrumen lingkungan
dan mencari dana untuk mendanai investasi publik yang terkait dengan lingkungan
yaitu:
1. Polluter
pays principle
Menurut polluter pays
principle ini, pencemar harus menanggung biaya sesuai dengan standar
lingkungan, yang ditentukan oleh otoritas publik. Ada dua tujuan dari prinsip
ini yang mendorong proses produksi yang lebih efisien, yaitu:
a. Mendorong efisiensi ekonomi dalam pelaksanaan kebijakan pengendalian
pencemaran; dan
b.Meminimalkan potensi distorsi perdagangan yang mungkin timbul dari
kebijakan lingkungan.
2. User
pays principle atau resource pricing principle
Menurut User pays
principle ini, penerima manfaat harus membayar biaya penuh menggunakan
sumber daya dan layanan yang terkait, biaya penuh termasuk biaya kerugian yang
diderita generasi mendatang.
3. Precautionary
principle
Prinsip ini diadopsi oleh the UN
Conference on Environment and Development pada Earth
Summit) tahun1992. Menurut Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan
Pembangunan, Prinsip Pencegahan diartikan bahwa dimana ada ancaman kerusakan
serius atau permanen pada lingkungan, kurangnya kepastian ilmiah tidak dapat
dijadikan alasan untuk menunda pelaksanaan tindakan yang efektif dari
segi biaya untuk mencegah degradasi lingkungan.
4. Subsidiary
principle
Prinsip ini tidak
dirancang sebagai suatu prinsip lingkungan, tetapi bermanfaat dalam memberikan
pedoman ketika menerapkan prinsip-prinsip lingkungan di atas. Prinsip ini
menyatakan bahwa keputusan politik harus diambil oleh tingkat serendah mungkin
dengan bergantung kepada otoritas publik dengan melakukan tindakan efektif,
sehingga penetapan standar dan menginterpretasikan risiko merupakn proses
politik.
5. Intergenerational
equity principle.
Prinsip ini merupakan
prinsip utama dalam definisi pembangunan berkelanjutan, yang menyatakan
“memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi
mendatang.” Prinsip ini juga mendasari tindakan akuntansi lingkungan dari
penghasilan berkelanjutan.
Mengenai tanggung jawab sosia
perusahaan, semula, tanggung jawab ini adalah bersifat sukarela,
setidak-tidaknya karena empat alasan:
1. Tujuan dari
perusahaan adalah mencari keuntungan;
2. CSR merupakan kewajiban moral;
3.
Pelaksanaan CSR bertentangan dengan hak kepemilikan privat, dan
4. Tidak sesuai dengan prinsip
efisiensi dalam bisnis.
Kemudian lebih lanjut,
meskipun perusahaan selain memberikan manfaat bagi pemangku kepentingan,
seperti membuka lapangan kerja, membayar pajak, dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sekitar juga menimbulkan dampak negatif (negative externalities),
salah satunya yaitu eksternalitas lingkungan sebagaimana dimaksud di atas, yang
pada akhirnya mengakibatkan munculnya permasalahan sosial dan politik.
Konsekuensi dari eksternalitas di atas, perusahaan tidak boleh melaksanakan
pengembangan tanpa memperhatikan dampat dari eksternalitas negatif. Perusahaan
diwajibkan untuk melaksanakan kebijakan yang seimbang antara tujuan untuk
mencari keuntungan dan kepentingan nilai masyarakat, sehingga terjadi
pergeseran paradigma yang semula berorientasi pada kinerja ekonomi atau
pertumbuhan ekonomi, ke arah keseimbangan lingkungan dan masyarakat dengan
memperhatikan dampak sosial (sebagai bagian dari paradigma pembangunan
berkelanjutan). Terkait dengan penjelasan di atas, Nor Hadi menyimpulkan bahwa:
Benang
merah keterkaitan antara eksistensi perusahaan dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat danshareholder terhadap upaya praktik sehat (legal responsibility)
dan tanggung jawab sosial akibat negative externalities yang
dimunculkan harus bersambung. Peniadaan dalam salah satu aspek, berdampak besar
terhadap keseimbangan ekosistem perusahaan.
Menurut David Pearce,
ketidakpastian mengenai masa depan cenderung mengaburkan pertukaran menuju
sistem yang produktif tetapi tidak berkelanjutan. Untuk memastikan
keberlanjutan oleh karenanya membutuhkan upaya-upaya yang dapat mengurangi
ketidakpastian. Banyak ketidakpastian berasal dari ketidaknyamanan, khususnya atas
hak untuk menggunakan sumber daya: apabila masyarakat merasa nyaman terhadap
akses jangka panjang mereka terhadap tanah, sebagai contoh, mereka mungkin
tidak terlalu kuatir untuk menambangnya untuk mendapatkan produktivitas
sesegera mungkin, sehingga reformasi kepemilikan lahan mungkin akan cukup untuk
memastikan manajemen sumber daya yang telah meningkat. Strategi lain termasuk
harga sumber daya: Prices are powerful incentives. If resources prices set to
low, excessive use will be made of the resource . . . and overuse can readily
contribute to environmental degradation. To secure an efficient use of
resources, outputs should be priced at their marginal social cost, which
comprises the marginal cost of production and the ‘external cost’ of pollution
or resource degradation caused by producing the good.
Jadi, dapat kita tarik
kesimpulan sementara bahwa internalisasi atas eksternalitas negatif yang timbul
akibat dari kegiatan ekonomi, yang semula tidak diperhitungkan sebagai bagian
dari biaya, mutlak diperlukan atau bahkan diwajibkan dalam setiap kegiatan
ekonomi agar dapat memberikan kepastian bagi terlaksananya pembangunan
berkelanjutan atau sustainable development dan juga sebagai bentuk
dukungan terhadap tiga pilar pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi,
lingkungan, dan sosial.
Sumber Artikel :
http:// internalisasi-biaya-lingkungan-dan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar