Selasa, 30 Juni 2015

MIGAS (SOSPOL)

Dicki Nuuran Widi Wiguna
132104102199
FISIPOL ADMINISTRASI NEGARA 
Universitas Proklamasi'45 Yogyakarta
Bagaimana Pandangan Sosial dan Politik terhadap Migas ?

A.    Politik Migas Bung Karno

            Bung Karno dan Politik Minyak Kita "Jangan Dengarkan Asing..!!" Itulah yang diucapkan Bung Karno di tahun 1957 saat ia mulai melakukan aksi atas politik kedaulatan modal. Aksi kedaulatan modal adalah sebuah bentuk politik baru yang ditawarkan Soekarno sebagai alternatif ekonomi dunia yang saling menghormati, sebuah dunia yang saling menyadari keberadaan masing-masing, sebuah dunia co-operasi, "Elu ada, gue ada" kata Bung Karno saat berpidato dengan dialek betawi di depan para mahasiswa sepulangnya dari Amerika Serikat.
Pada tahun 1957, perlombaan pengaruh kekuasaan meningkat antara Sovjet Uni dan Amerika Serikat, Sovjet Uni sudah berani masuk ke Asia pasca meninggalnya Stalin, sementara Mao sudah ambil ancang-ancang untuk menguasai seluruh wilayah perbatasan Sovjet Uni dengan RRC di utara Peking. Bung Karno sudah menebak Amerika Serikat dan Sovjet Uni pasti akan rebutan Asia Tenggara. "Dulu Jepang ngebom Pearl Harbour itu tujuannya untuk menguasai Tarakan, untuk menguasai sumber-sumber minyak, jadi sejak lama Indonesia akan jadi pertaruhan untuk penguasaan di wilayah Asia Pasifik, kemerdekaan Indonesia bukan saja soal kemerdekaan politik, tapi soal bagaimana menjadiken manusia yang didalamnya hidup terhormat dan terjamin kesejahteraannya" kata Bung Karno saat menerima beberapa pembantunya sesaat setelah pengunduran Hatta menjadi Wakil Presiden RI tahun 1956.
Saat itu Indonesia merobek-robek perjanjian KMB didorong oleh kelompok Murba, Bung Karno berani menuntut pada dunia Internasional untuk mendesak Belanda menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia "Kalau Belanda mau perang, kita jawab dengan perang" teriak Bung Karno saat memerintahkan Subandrio untuk melobi beberapa negara barat seperti Inggris dan Amerika Serikat. "Gerak adalah sumber kehidupan, dan gerak yang dibutuhkan di dunia ini bergantung pada energi, siapa yang menguasai energi dialah pemenang" Ambisi terbesar Soekarno adalah menjadikan energi sebagai puncak kedaulatan bangsa Indonesia, pada peresmian pembelian kapal tanker oleh Ibnu Sutowo sekitar tahun 1960, Bung Karno berkata "Dunia akan bertekuk lutut kepada siapa yang punya minyak, heee....joullie (kalian =bahasa belanda) tau siapa yang punya minyak paling banyak, siapa yang punya penduduk paling banyak...inilah bangsa Indonesia, Indonesia punya minyak, punya pasar. Jadi minyak itu dikuasai penuh oleh orang Indonesia untuk orang Indonesia, lalu dari minyak kita ciptaken pasar-pasar dimana orang Indonesia menciptaken kemakmurannya sendiri".
 Jelas langkah Soekarrno tak disukai Amerika Serikat, tapi Moskow cenderung setuju pada Soekarno, ketimbang harus perang di Asia Tenggara dengan Amerika Serikat, Moskow memutuskan bersekutu dengan Soekarno, tapi perpecahan Moskow dengan Peking bikin bingung Soekarno. Akhirnya Soekarno memutuskan maju terus tanpa Moskow, tanpa Peking untuk berhadapan dengan kolonialis barat. Di tahun 1960, Sukarno bikin gempar perusahaan minyak asing, dia panggil Djuanda, dan suruh bikin susunan soal konsesi minyak "Kamu tau, sejak 1932 aku berpidato di depan Landraad soal modal asing ini? soal bagaimana perkebunan-perkebunan itu dikuasai mereka, jadi Indonesia ini tidak hanya berhadapan dengan kolonialisme tapi berhadapan dengan modal asing yang memperbudak bangsa Indonesia, saya ingin modal asing ini dihentiken, dihancurleburken dengan kekuatan rakyat, kekuatan bangsa sendiri, bangsaku harus bisa maju, harus berdaulat di segala bidang, apalagi minyak kita punya, coba kau susun sebuah regulasi agar bangsa ini merdeka dalam pengelolaan minyak" urai Sukarno di depan Djuanda.
Lalu tak lama kemudian Djuanda menyusun surat yang kemudian ditandangani Soekarno. Surat itu kemudian dikenal UU No. 44/tahun 1960. isi dari UU itu amat luar biasa dan memukul MNC (Multi National Corporation). "Seluruh Minyak dan Gas Alam dilakukan negara atau perusahaan negara". Inilah yang kemudian menjadi titik pangkal kebencian kaum pemodal asing pada Soekarno, Soekarno jadi sasaran pembunuhan dan orang yang paling diincar bunuh nomor satu di Asia. Tapi Soekarno tak gentar, di sebuah pertemuan para Jenderal-Jenderalnya Soekarno berkata "Buat apa memerdekakan bangsaku, bila bangsaku hanya tetap jadi budak bagi asing, jangan dengarken asing, jangan mau dicekoki Keynes, Indonesia untuk bangsa Indonesia". Ketika laporan intelijen melapori bahwa Sukarno tidak disukai atas UU No. 44 tahun 1960 itu Soekarno malah memerintahkan ajudannya untuk membawa paksa seluruh direktur perusahaan asing ke Istana. Mereka takut pada ancaman Soekarno. Dan diam ketakutan. Pada hari Senin, 14 Januari 1963 pemimpin tiga perusahaan besar datang lagi ke Istana, mereka dari perusahaan Stanvac, Caltex dan Shell. Mereka meminta Sukarno membatalkan UU No.40 tahun 1960. UU lama sebelum tahun 1960 disebut sebagai "Let Alone Agreement" yang memustahilkan Indonesia menasionalisasi perusahaan asing, ditangan Soekarno perjanjian itu diubah agar ada celah bila asing macam-macam dan tidak memberiken kemakmuran pada bangsa Indonesia atas investasinya di Indonesia maka perusahaannya dinasionalisasikan. Para boss perusahaan minyak itu meminta Sukarno untuk mengubah keputusannya, tapi inilah jawaban Sukarno "Undang-Undang itu aku buat untuk membekukan UU lama dimana UU lama merupaken sebuah fait accomply atas keputusan energi yang tidak bisa menasionalisasikan perusahaan asing. UU 1960 itu kubuat agar mereka tau, bahwa mereka bekerja di negeri ini harus membagi hasil yang adil kepada bangsaku, bangsa Indonesia" mereka masih ngeyel juga, tapi bukan Bung Karno namanya ketika didesak bule dia malah meradang, sambil memukul meja dan mengetuk-ngetukkan tongkat komando-nya lalu mengarahkan telunjuk kepada bule-bule itu Soekarno berkata dengan suara keras :"Aku kasih waktu pada kalian beberapa hari untuk berpikir, kalau tidak mau aku berikan konsesi ini pada pihak lain negara..!" waktu itu ambisi terbesar Soekarno adalah menjadikan Permina (sekarang Pertamina) menjadi perusahaan terbesar minyak di dunia, Sukarno butuh investasi yang besar untuk mengembangkan Permina. Caltex disuruh menyerahkan 53% hasil minyaknya ke Permina untuk disuling, Caltex diperintahkan memberikan fasilitas pemasaran dan distribusi kepada pemerintah, dan menyerahkan modal dalam bentuk dollar untuk menyuplai kebutuhan investasi jangka panjang pada Permina.

            Bung Karno tidak berhenti begitu saja, ia juga menggempur Belanda di Irian Barat dan mempermainkan Amerika Serikat, Sukarno tau apabila Irian Barat lepas maka Biak akan dijadikan pangkalan militer terbesar di Asia Pasifik, dan ini mengancam kedaulatan bangsa Indonesia yang baru tumbuh. Kemenangan atas Irian Barat merupakan kemenangan atas kedaulatan modal terbesar Indonesia, di barat Indonesia punya lumbung minyak yang berada di Sumatera, Jawa dan Kalimantan sementara di Irian Barat ada gas dan emas. Indonesia bersiap menjadi negara paling kuat di Asia.
Hitung-hitungan Soekarno di tahun 1975 akan terjadi booming minyak dunia, di tahun itulah Indonesia akan menjadi negara yang paling maju di Asia , maka obesesi terbesar Sukarno adalah membangun Permina sebagai perusahaan konglomerasi yang mengatalisator perusahaan-perusahaan negara lainnya di dalam struktur modal nasional. Modal Nasional inilah yang kemudian bisa dijadikan alat untuk mengakuisisi ekonomi dunia, di kalangan penggede saat itu struktur modal itu diberi kode namanya sebagai 'Dana Revolusi Soekarno". Kelak empat puluh tahun kemudian banyak negara-negara kaya seperti Dubai, Arab Saudi, Cina dan Singapura menggunakan struktur modal nasional dan membentuk apa yang dinamakan Sovereign Wealth Fund (SWF) sebuah struktur modal nasional yang digunakan untuk mengakuisisi banyak perusahaan di negara asing, salah satunya apa yang dilakukan Temasek dengan menguasai saham Indosat.
Soekarno sangat perhatian dengan seluruh tambang minyak di Indonesia, di satu sudut Istana samping perpustakaannya ia memiliki maket khusus yang menggambarkan posisi perusahaan minyak Indonesia, suatu hari saat Bung Karno kedatangan Brigjen Sumitro, yang disuruh Letjen Yani untuk menggantikan Brigjen Hario Ketjik menjadi Panglima Kalimantan Timur, Soekarno sedang berada di ruang khusus itu, lalu ia keluar menemui Sumitro yang diantar Yani untuk sarapan dengan Bung Karno, saat sarapan dengan roti cane dengan madu dan beberapa obat untuk penyakit ginjal dan diabetesnya, Soekarno berkata singkat pada Sumitro : "Generaal Sumitro saya titip rafinerij (rafineij = tambang dalam bahasa Belanda) di Kalimantan, kamu jaga baik-baik" begitu perhatiannya Soekarno pada politik minyak.
Kelabakan dengan keberhasilan Soekarno menguasai Irian Barat, Inggris memprovokasi Soekarno untuk main di Asia Tenggara dan memancing Soekarno agar ia dituduh sebagai negara agresor dengan mengakuisisi Kalimantan. Mainan lama ini kemudian juga dilakukan dengan memancing Saddam Hussein untuk mengakuisisi Kuwait sehingga melegitimasi penyerbuan pasukan Internasional ke Baghdad. Soekarno panas dengan tingkah laku Malaysia, negara kecil yang tak tau malu untuk dijadikan alat kolonialisme, namun Soekarno juga terpancing karena bagaimanapun armada tempur Indonesia yang diborong lewat agenda perang Irian Barat menganggur. Soekarno ingin mengetest Malaysia.
           
Tapi sial bagi Sukarno, ia justru digebuk Jenderalnya sendiri. Soekarno akhirnya masuk perangkap Gestapu 1965, ia disiksa dan kemudian mati mengenaskan, Soekarno adalah seorang pemimpi, yang ingin menjadikan bangsanya kaya raya itu dibunuh oleh konspirasi. Dan sepeninggal Sukarno bangsa ini sepenuhnya diambil alih oleh modal asing, tak ada lagi kedaulatannya dan tak ada lagi kehormatannya. Soekarno menciptakan landasan politik kepemilikan modal minyak, inilah yang harus diperjuangkan oleh generasi muda Indonesia, kalian harus berdaulat dalam modal, bangsa yang berdaulat dalam modal adalah bangsa yang berdaulat dalam ekonomi dan kebudayaannya, ia menciptakan masyarakat yang tumbuh dengan cara yang sehat. Bung Karno tidak hanya mengeluh dan berpidato didepan publik tentang ketakutannya seperti SBY, tapi ia menantang, ia menumbuhkan keberanian pada setiap orang Indonesia, ia menumbuhkan kesadaran bahwa manusia Indonesia berhak atas kedaulatan energinya. Andai Indonesia berdaulat energinya, Pertamina menjadi perusahaan minyak terbesar di dunia dan menjadi perusahaan modal yang mengakusisi banyak perusahaan di dunia maka minyak Indonesia tak akan semahal sekarang, rakyat yang dicekik terus menerus. Pada Bung Karno, hendaknya jalannya sejarah Indonesia harus dikembalikan.
B.     Indonesia sebetulnya masih punya cadangan Minyak, meskipun jumlahnya tidak begitu besar. Artinya, jika pemerintah punya Politik Energi yang tepat, pemerintah bisa menggenjot produksi.
Hal tersebut diungkapkan oleh Staff Deputi Politik Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD), Alif Kamal, di Jakarta, Sabtu (8/6/2013). Menurut Alif, problem terbesar pengelolaan migas saat ini adalah ketergantungan yang besar kepada modal asing. “Kita begitu bergantung kepada modal asing, baik ketergantungan modal maupun teknologi. Ironisnya, pemerintah tidak bisa mengupayakan untuk mengembangkan kekuatan sendiri agar bisa mengelola migas secara berdikari,” kata Alif. Alif menyatakan tidak sependapat dengan pernyataan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Rudi Rubiandini, yang menyatakan bahwa salah satu kendala eksplorasi minyak di Indonesia adalah tidak adanya modal tunai yang cukup untuk eksplorasi dan ketidakberanian modal nasional untuk melakukan eksplorasi migas.
“Dia (Rudi Rubiandini) bilang, kalau eksplorasi, belum tentu dapat minyak alias dry hole. Sedangkan biaya eksplorasi per sumur biasanya Rp 1 trilyunan. Hal itu, kata dia, yang membuat pemerintah membatasi Pertamina untuk masuk dalam bisnis yang beresiko tinggi,” kata Alif. Bagi Alif, pernyataan Rudi Rubiandini itu tidak beralasan. Buktinya, kata dia, perusahaan asing justru berlomba-lomba untuk mengeksplorasi cadangan migas Indonesia. Selain itu, kata Alif, guna mengecilkan resiko dry hole, pemerintah seharusnya memperkuat riset.
Selain itu, Alif menambahkan, terkait kebutuhan dana eksplorasi, pemerintah seharusnya bisa menyisihkan sebagian dari penerimaan di sektor migas yang tiap tahun naik. “Ini kan aneh, katanya penerimaan migas kita naik terus, tetapi kok mengeluh dana eksplorasi. Tahun 2005, penerimaan migas sebesar Rp 138,9 triliun. Dan pada tahun 2012, meningkat menjadi Rp 265,94 Triliun,” kata Alif. Lebih jauh lagi, kata Alif, politik anggaran di APBN kita memang tidak memihak pada pengembangan ekonomi nasional, termasuk untuk eksplorasi migas. Faktanya, kata dia, hampir 80% anggaran di APBN hanya dipakai untuk belanja rutin birokrasi.
Seharusnya, pemerintah bisa menutupi kebocoran APBN yang mencapai 30%. Dengan begitu, ada dana tunai untuk pembangunan infrastruktur dan pengembangan sekto migas,” kata Alif. Alif juga mengeritik ketidakbecusan pemerintah, termasuk SBY, dalam mengembangkan Pertamina agar sejajar dengan korporasi migas milik negara, seperti CNOOC (China), Petronas (Malaysia), dan PDVSA (Venezuela).
“Dulu Petronas belajar ke Pertamina, tapi sekarang mereka berkembang sangat pesat. Pertamina tertinggal jauh di belakang. Itu karena manajemen pertamina yang korup dan banyak brokerisasi di dalamnya. Selain itu, posisi Pertamina juga dilemahkan melalui UU nomor 22 tahun 2001 tentang migas,” tegasnya.
Menurut Alif, masalah besar dalam pengelolaan migas di Indonesia adalah dominannya modal asing. Ia mengutip data dari ESDM tahun 2009, bahwa dari keseluruhan produksi minyak dan kondensat di Indonesia, pertamina hanya 13,8%. Sisanya dikuasai oleh perusahaan asing, seperti Chevron (41%), Total E&P Indonesie (10%), Chonoco-Philips (3,6%) dan CNOOC (4,6%). Yang lebih disesalkan Alif adalah pernyataan Rudi Rubiandini soal cost recovery yang seolah-olah tak bermasalah. “Cost Recovery yang dibayar pemerintah sangat tinggi, yakni Rp 120 triliun. Harusnya dievaluasi kenapa bisa sangat tinggi begitu. Nah, ada informasi bahwa banyak item yang seharusnya tidak masuk biaya cost recovery tetapi justru dimasukkan,” ungkap Alif.
Bagi Alif, jika politik energi Indonesia tidak diubah, yakni dengan mengupayakan menggunakan kemampuan sendiri, Indonesia selamanya tidak akan berdaulat di sektor energi.

    C.    dan Pandangan Parpol tentang Kemandirian Energi Nasional
Kurangi Peran Asing, Dorong BUMN Kuasai Migas
                                                                                                   
Pemerintah harus sungguh-sungguh dalam melakukan konversi gas, dengan memperbanyak SPBG, membangun jaringan pipa, FSRU, dan sebagainya yang dapat mempermudah masyarakat untuk mengakses gas,” Erik Satrya Wardhana Ketua DPP Partai Hanura
Indonesia merupakan negara produsen energi primer terbesar ke-8 di dunia, seperti minyak, gas, dan batu bara. Sumber daya energi yang dapat diperbaharui juga berlimpah. Mestinya dengan itu Indonesia bisa swasembada energi dan sekaligus membangun kedaulatan di bidang energi, namun pada kenyataannya Indonesia justru menjadi importir energi. DEMIKIAN disimpulkan oleh poli tisi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Erik Satrya Wardhana.
”Dengan menjadi negara pengimpor energi, ini artinya ada yang salah dengan politik dan kebijakan energi nasional selama ini,” kata Erik, kepada INDO POS. Menurut Ketua DPP Partai Hanura ini, dalam konsep ekonomi yang di usung oleh Partai Hanura, dengan sum ber daya energi yang begitu besar, seharusnya kedaulatan di bidang energi bagi Indonesia akan menjadi keniscayaan, jika dilakukan lima langkah. ”Pertama, melakukan perombakan terhadap berbagai regulasi yang tidak mendukung pencapaian kedaulatan energi.
Beberapa negara di Amerika Latin sudah melakukan langkah itu dengan menasionalisasi perusahaanperusahaan migas besar yang beroperasi di negaranya. Itupula yang harus dilakukan di negeri ini,” tegas pria berkacamata ini. Seperti diketahui, perusahaan besar asing yang datang dan melakukan usaha di Indonesia dengan menggu nakan sumber daya alam yang ada, khususnya di bagian migas cukup banyak. Antara lain, Chevron (Amerika Se rikat) menguasai 35 persen total pro duksi di Indonesia, Total (Perancis) memproduksi rata-rata 2.200 juta kaki kubik per hari, menjadi pemasok 80 persen gas di kilang gas alam cair di Bontang, Kalimantan Timur.
Dan turut melakukan ekspor ke Jepang dan Korea. ConocoPhilips (Amerika), beroperasi di Indonesia lebih dari 40 tahun ini merupakan produsen mi gas terbesar ketiga di Indonesia. British Petroleum (Inggris), me libat kan enam lapangan gas yang telah te reksploitasi dengan cadangan gas sebesar 14.4 triliun kaki kubik. Mereka menguasai 37,16 persen saham di proyek Tangguh yang merupakan la pangan gas sekaligus kilang LNG.
Dalam setahun kilang LNG mengha silkan 7.6 juta ton LNG dan hasil kilang Tangguh tersebut dikirim ke Amerika Serikat dan China. Dan Ex xonMobil (Amerika), menemukan sum ber minyak mentah sebesar 1.4 mi liar barel dan gas mencapai 8.14 miliar kaki kubik di lapangan Banyu Urip, Cepu, Jawa Tengah. Exxon menandatangani Kontrak Ker ja Sama (KKS) migas dengan peme rintah Indonesia pada 2005 dan se jak itu Exxon bisa memproduksi minyak walaupun hanya sekitar 20.000 barel per hari. Kedua, katanya, menjadikan BUMN se bagai pengendali dan pelaku utama pengelolaan energi domestik di sektor hulu hingga hilir.
Dengan potensi ener gi yang secara ekonomis berlim pah, BUMN dapat mengadakan SDM yang berkelas internasional dan menerapkan teknologi mutakhir, untuk mengelola energi secara ekono mis dan berkelanjutan. ”Dengan demikian BUMN tersebut bahkan sangat mungkin mengakuisisi perusahaan-perussahaan energi kelas dunia yang bersifat terbuka,” ujarnya. Ketiga, lanjut dia, mengembangkan pro duksi energi yang terbarukan ser ta mengoptimalkan produksi ene r gi yang tidak dapat di perbarui. Ter masuk di da lamnya adalah menin gka tkan poduksi dan me lakukan efisiensi dalam pengolahan dan distribusi.
Sehingga bisa dicapai titik op t imal bauran energi yang mu rah dan yang ramah lingkungan. Langkah keempat, me nurut Erik, da lam jangka pendek dan menengah, untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM yang pada gi li rannya juga akan dapat menghemat de visa dan me ngurangi te kanan sub sidi BBM ter hadap APBN. Maka, peme rintah ha rus mengeluar kan kebi jakan yang menghentikan ekspor minyak mentah domestik sampai kapasitas pengolahan do mes tik dapat tercukupi.
”Pada saat yang bersamaan kapasitas kilang juga harus diperbesar, dan storage minyak yang berada di wilayah In do nesia dimanfaatkan sepenuhnya,” terangnya. Lebih lanjut yang terakhir adalah mengoptimalkan pemanfaatan komoditas energi untuk publik, yakni gas bumi. ”Pemerintah harus sungguh- sungguh dalam melakukan kon versi gas, dengan memperbanyak SPBG, membangun jaringan pipa, FSRU, dan sebagainya yang dapat mempermudah masyarakat untuk mengakses gas,” tegasnya.
Konversi Gas Kendaraan Terkait dengan kelangkaan bahan bakar minyak hingga ditekannya kuota subsidi, menun tut adanya per cepatan konversi ke bahan bakar gas. Menurut Erik Sat rya Wardha na, lang kah yang paling efek tif adalah me nga pli kasi kannya ke kendaraan pribadi dan umum. ”Yang paling mendekati adalah transpor tasi umum. Ini di la kukan agar kuota BBM ber sub idi sebesar 48 juta kilo liter tidak terlampaui,” katanya.
Erik yang juga menjabat sebagai anggota komisi VI DPR RI ini, mene rangkan salah satu kesuksesan pemerintah bisa menekan kuota BBM bersubsidi di tahun lalu lantaran adanya kebijakan menaikan harga pada BBM jenis premium dan solar. Na mun, di satu sisi subsidi energi ma sih dikatakan masih cukup besar lantaran efek dari ekonomi nasional. Sehingga program konversi ini harus lebih ditekan agar penggu naannya menjadi massif.
”Untuk itu pengaplikasian konsumsi BBG ke transportasi umum harus dilakukan agar beban subsidi tidak ber pe ngaruh terhadap kurs,” ucapnya. Lebih lanjut ia juga me nerangkan pentingnya industri otomotif dan ka roseri di dalam negeri ter libat dalam usaha per cepatan konversi BBM ke BBG. “Salah satunya dengan menyiapkan conver ter kit pada produksi ken daraannya sehingga siner gi dalam mempercepat pro gram ini dapat berhasil ke depannya,” imbau pria yang kini kembali maju sebagai caleg di dapil Jabar III.


Dominasi manusia terhadap peradaban kita belum sampai kepada batas dari kapasitas pendukung kehidupan Bumi. Meskipun demikian, kerugian dan penurunan modal alam, dimana manusia manfaat dalam bentuk layanan alam, adalah terjadi dimana-mana dan sebagian besar diabaikan oleh manusia. Banyak masyarakat menghabiskan modal dan sumber daya mereka, tanpa berpikir untuk, misalnya, bertani dengan maksud untuk mendapatkan panen tahunan yang terus menerus, melaut untuk mendapatkan ikan yang dapat di eksploitasi secara berkelanjutan, dan melakukan penebangan pohon yang tidak lebih cepat dari regenerasi pohon itu sendiri. Sistem ekonomi konvensional hanya memberikan nilai yang kecil terhadap modal alam, dan juga dalam sistem ini, kerugian atau penurunan dari produktivitas tidak secara lazim tercatat dalam pembukuan. Kemungkinan untuk mengganti akibat dari penurunan modal alam yang hilang tersebut sangatlah kecil. Akibat dari penurunan modal alam tersebut, banyak negara tanpa sadar memiskinkan diri mereka sendiri meskipun semua tindakan-tindakan ekonomi konvensional mengindikasikan atau menunjukkan kekayaan negara meningkat. Jadi kemenangan manusia dari dominasi atas Bumi adalah kemenangan parsial yang bercampur dengan berkat.
Terdapat banyak biaya yang terkait dengan peningkatan dominasi umat manusia. Hal tersebut termasuk perbedaan dalam kesejahteraan dan pengaruh antara negara dan kawasan, ketidakberkelanjutan ekologi dari peradaban saat ini dan serangan yang terus meningkat terhadap sistem pendukung kehidupan, dan umat manusia tumbuh dengan rentan terhadap bahaya epidemi baru. Semua ini mewakili tantangan yang harus dipenuhi. Konsensus ilmiah menyatakan bahwa tingkah laku manusia sangat berpengaruh dalam mengurangi harapan dari peradaban untuk menjadi berkelanjutan.
            “Korporat umat manusia” masih memiliki peluang untuk mengambil serangkaian langkah penting untuk mengubah arah dan menghindari tabrakan dengan dunia alam. Sangat penting bagi umat manusia untuk mulai membangun momentum ke arah pembentukan dunia yang berkelanjutan dimana semuanya dapat menjalani kehidupan yang layak, menyenangkan, mampu mengkonsumsi pada tingkat yang memuaskan tetapi tetap aman, bebas dari kemungkinan menjadi sumber dari peperangan, terorisme, dan konsekuensi dari meningkatnya kerusakan lingkungan. Tidak ada isu yang lebih mendasar dari pembentukan dunia yang lebih aman dan berkelanjutan dibandingkan dengan pengendalian populasi manusia. Salah satu alasan untuk terus mengabaikan jasa atau layanan yang diberikan oleh alam yaitu karena keuntungan mereka berikan kepada masyarakat tidak diperhitungkan di pasar. Sebagai contoh, harga lahan basah yang dijual untuk dikonversi menjadi lahan pertanian masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan total biaya sosial akibat kehilangan lahan basah, dimana biaya hilangnya jasa ekosistem dari lahan basah, seperti misalnya hilangnya fungsi kontrol banjir, fungsi penyaring air, dan habitat, tidak dimasukkan dalam harga penjualan lahan basah.





Kemudian, selain biaya lingkungan, menurut Paul R. Ehrlich dan Anne H. Ehrlich, terkait dengan biaya sosial, yaitu:

Social costs include the external costs borne by society, beyond the internal costs paid by people or firms that are producing a product or carrying out an activity. Most of the benefits we get from the organisms of natural ecosystems are “positive externalities” to society; correspondingly, the costs society incurs when those benefits are reduced are “negative externalities.”
Contoh lain dari dari ekonomi ekologi yaitu eksternalitas positif yang disediakan oleh hutan alam meliputi penyerapan karbon, yang  apabila tidak dilakukan akan tetap berada di atmosfer sebagai karbon dioksida (CO2), sebuah proses yang dapat mengurangi resiko perubahan iklim. Lebih lanjut mengenai manfaat langsung termasuk moderasi iklim lokal (perlindungan dari banjir dan kekeringan) dan fungsi pemeliharaan kualitas tanah dan air. Fungsi tersebut jarang diberi nilai dalam pasar saat ini. Misalnya, jika A menjual hak untuk memanen pohon-pohon kepada B. Harga pasar dari hak tersebut tidak mencerminkan kenyataan bahwa cucu A, B, dan penduduk dunia mungkin harus tinggal di iklim yang terus memburuk.  Pemerintah tidak menarik pajak dari transaksi tersebut (meskipun bisa) untuk mencoba memperbaiki kegagalan harga pasar atas pohon yang telah ditebang tersebut yang nantinya akan mencerminkan nilai sosial yang sebenarnya. Dengan kata lain, berdasarkan perhitungan mengatakan bahwa biaya pasar dari penebangan hutan biasanya tidak meliputi eksternalitas negatif yang terkait dengan hilangnya hutan, seperti peningkatan intensitas banjir, penurunan keanekaragaman hayati, dan terlepasnya CO2 ke udara. B membayar lebih sedikit atas nilai sosial pohon yang sebenarnya dengan pertimbangan karena pasar tidak memperhitungkan biaya tersebut dan karena pemerintah tidak menerapkan pajak untuk "menginternalisasikan" eksternalitas tersebut. Jadi, bukannya B yang membayar biaya sebenarnya dari penebangan pohon, tetapi kita semua akhirnya membayar biaya sosial tersebut.
            Eksternalitas akan muncul apabila tindakan seseorang atau perusahaan mempengaruhi entitas lain tanpa permisi. Eksternalitas itu sendiri terbagi ke dalam dua bagian, yaitu eksternalitas positif dan eksternalitas negatif. Contoh eksternalitas positif yaitu pemilik kebun apel memberikan eksternalitas positif bagi peternak lebah disekitar kebunnya (terkait dengan kuantitas dan kualitas madu), dan sebaliknya peternak lebah memberikan eksternalitas positif bagi pemilik kebun apel karena lebahnya membantu penyerbukan bunga-bunga apel. Sedangkan contoh untuk eksternalitas negatif yaitu dimana usaha laundry yang berada di dekat pabrik baja menyebabkan biaya untuk melakukan pencucian pakaian menjadi lebih besar karena terkena kotoran dan asap yang dihasilkan dari kegiatan pembuatan baja. Jadi dapat disimpulkan bahwa definisi dari eksternalitas yaitu “An externality exists when the consumption or production choices of one person or firm enters the utility or production function of another entity without that entity’s permission or compensation.”
Selanjutnya mengenai eksternalitas lingkungan, menurut Bernard Hoekman dan Michael Leidy:
Environmental externalities are often embodied in specific products or generated by production process. And government generally have a variety of instruments at their disposal to mitigate the environmental impact of product – and process-based pollution. These include taxes on production or consumption, tradeable pollution permits, limiting production through quotas on output, restrictions on the use spesific inputs or production technologies, and product standards.
Meskipun faktanya bahwa terdapat teori ekonomi yang mengindikasikan bahwa pasar atau instrumen yang didasarkan pada harga seperti misalnya pajak atau izin yang dapat diperdagangkan sering menjadi pilihan yang efisien, dalam praktek kebijakan lingkungan cenderung untuk menjadi perintah dan kontrol, yang berbentuk jumlah kuantitas peraturan dan teknis produk yang spesifik/standar dari proses. Pada saatnya, instrumen yang didasarkan pada harga akan secara keseluruhan menjadi tidak tepat. Misalnya yaitu adanya kebutuhan untuk melarang atau membatasi penggunaan zat tertentu yang terkandung dalam suatu produk (karena menyebabkan kanker dan lain-lain).

Berbicara mengenai lingkungan tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip yang ada terkait dengan lingkungan itu sendiri. Ada 5 (lima) prinsip yang dapat digunakan untuk mendesain instrumen lingkungan dan mencari dana untuk mendanai investasi publik yang terkait dengan lingkungan yaitu:

1.      Polluter pays principle
Menurut polluter pays principle ini, pencemar harus menanggung biaya sesuai dengan standar lingkungan, yang ditentukan oleh otoritas publik. Ada dua tujuan dari prinsip ini yang mendorong proses produksi yang lebih efisien, yaitu:
         a. Mendorong efisiensi ekonomi dalam pelaksanaan kebijakan pengendalian pencemaran; dan
         b.Meminimalkan potensi distorsi perdagangan yang mungkin timbul dari kebijakan lingkungan.

2.      User pays principle atau resource pricing principle
Menurut User pays principle ini, penerima manfaat harus membayar biaya penuh menggunakan sumber daya dan layanan yang terkait, biaya penuh termasuk biaya kerugian yang diderita generasi mendatang.



3.      Precautionary principle
Prinsip ini diadopsi oleh the UN Conference on Environment and Development pada Earth Summit) tahun1992. Menurut Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan, Prinsip Pencegahan diartikan bahwa dimana ada ancaman kerusakan serius atau permanen pada lingkungan, kurangnya kepastian ilmiah tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda  pelaksanaan tindakan yang efektif dari segi biaya untuk mencegah degradasi lingkungan.

4.      Subsidiary principle
Prinsip ini tidak dirancang sebagai suatu prinsip lingkungan, tetapi bermanfaat dalam memberikan pedoman ketika menerapkan prinsip-prinsip lingkungan di atas. Prinsip ini menyatakan bahwa keputusan politik harus diambil oleh tingkat serendah mungkin dengan bergantung kepada otoritas publik dengan melakukan tindakan efektif, sehingga penetapan standar dan menginterpretasikan risiko merupakn proses politik.

5.      Intergenerational equity principle.
Prinsip ini merupakan prinsip utama dalam definisi pembangunan berkelanjutan, yang menyatakan “memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang.” Prinsip ini juga mendasari tindakan akuntansi lingkungan dari penghasilan berkelanjutan.
Mengenai tanggung jawab sosia perusahaan, semula, tanggung jawab ini adalah bersifat sukarela, setidak-tidaknya karena empat alasan:
1. Tujuan dari perusahaan adalah mencari keuntungan;        
            2. CSR merupakan kewajiban moral;
            3. Pelaksanaan CSR bertentangan dengan hak kepemilikan privat, dan
            4. Tidak sesuai dengan prinsip efisiensi dalam bisnis.
Kemudian lebih lanjut, meskipun perusahaan selain memberikan manfaat bagi pemangku kepentingan, seperti membuka lapangan kerja, membayar pajak, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar juga menimbulkan dampak negatif (negative externalities), salah satunya yaitu eksternalitas lingkungan sebagaimana dimaksud di atas, yang pada akhirnya mengakibatkan munculnya permasalahan sosial dan politik. Konsekuensi dari eksternalitas di atas, perusahaan tidak boleh melaksanakan pengembangan tanpa memperhatikan dampat dari eksternalitas negatif. Perusahaan diwajibkan untuk melaksanakan kebijakan yang seimbang antara tujuan untuk mencari keuntungan dan kepentingan nilai masyarakat, sehingga terjadi pergeseran paradigma yang semula berorientasi pada kinerja ekonomi atau pertumbuhan ekonomi, ke arah keseimbangan lingkungan dan masyarakat dengan memperhatikan dampak sosial (sebagai bagian dari paradigma pembangunan berkelanjutan). Terkait dengan penjelasan di atas, Nor Hadi menyimpulkan bahwa:
            Benang merah keterkaitan antara eksistensi perusahaan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat danshareholder terhadap upaya praktik sehat (legal responsibility) dan tanggung jawab sosial akibat negative externalities yang dimunculkan harus bersambung. Peniadaan dalam salah satu aspek, berdampak besar terhadap keseimbangan ekosistem perusahaan.
Menurut David Pearce, ketidakpastian mengenai masa depan cenderung mengaburkan pertukaran menuju sistem yang produktif tetapi tidak berkelanjutan. Untuk memastikan keberlanjutan oleh karenanya membutuhkan upaya-upaya yang dapat mengurangi ketidakpastian. Banyak ketidakpastian berasal dari ketidaknyamanan, khususnya atas hak untuk menggunakan sumber daya: apabila masyarakat merasa nyaman terhadap akses jangka panjang mereka terhadap tanah, sebagai contoh, mereka mungkin tidak terlalu kuatir untuk menambangnya untuk mendapatkan produktivitas sesegera mungkin, sehingga reformasi kepemilikan lahan mungkin akan cukup untuk memastikan manajemen sumber daya yang telah meningkat. Strategi lain termasuk harga sumber daya: Prices are powerful incentives. If resources prices set to low, excessive use will be made of the resource . . . and overuse can readily contribute to environmental degradation. To secure an efficient use of resources, outputs should be priced at their marginal social cost, which comprises the marginal cost of production and the ‘external cost’ of pollution or resource degradation caused by producing the good.
Jadi, dapat kita tarik kesimpulan sementara bahwa internalisasi atas eksternalitas negatif yang timbul akibat dari kegiatan ekonomi, yang semula tidak diperhitungkan sebagai bagian dari biaya, mutlak diperlukan atau bahkan diwajibkan dalam setiap kegiatan ekonomi agar dapat memberikan kepastian bagi terlaksananya  pembangunan berkelanjutan atau sustainable development dan juga sebagai bentuk dukungan terhadap tiga pilar pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi, lingkungan, dan sosial.


Sumber Artikel :
http:// internalisasi-biaya-lingkungan-dan.html
                                                    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar